Tuesday, October 7, 2008

Antara Uang dan Impian

Suatu hari di tahun 2005, sekembali dari Groningen, iseng-iseng diriku menghitung-hitung income yang mungkin bakal kudapatkan nantinya, seandainya diriku aktif bekerja. Terus terang pekerjaan sebagai PNS tidak masuk dalam hitungan, patokanku adalah perusahaan multinasional yang memiliki salary besar.

Perhitungan gaji dimulai saat berusia 25 tahun dengan jangka waktu selama 15 tahun. Gaji awal dengan dimulai dengan angka Rp. 9.100.000,- contoh angka ini telah meliputi gaji pokok dan bonus berdasarkan pengalaman bekerja di salah satu perusahaan yang cukup terkemuka di Indonesia. Perhitungan dilanjutkan dengan asumsi awal bahwa akan terjadi kenaikan gaji pokok sebesar 10% setiap tahunnya sehingga gaji pada tahun ke-10 akan menjadi sekitar 21 juta rupiah perbulan. Karena kinerja kerja yang sangat baik mungkin anda akan mengalami kenaikan gaji pokok pada tahun ke-11 sebesar 20 juta rupiah dengan bonus 10 % sehingga pada level ini anda akan bergaji sekitar 26 juta rupiah. Dengan kata lain pada tahun ke-15 anda akan menjadi seorang karyawan yang berpendapatan perbulannya sekitar 38 juta rupiah.

Kemudian hal lain yang perlu diperkirakan yaitu besarnya biaya hidup sebagai single pada 5 tahun pertama adalah sebesar 7 juta rupiah, kemudian dilanjutkan dengan 10 juta rupiah pada 5 tahun kedua, dan 15 juta rupiah pada 5 tahun ketiga. Dengan demikian apa bila total perndapatan anda dari tahun 1 hingga 15 dikurangi dengan total pengeluaran selama 15 tahun dianggap sebagai tabungan, maka pada level ini anda akan menjadi orang yang memiliki tabungan sekitar 1,7 milyar rupiah.

Selanjutnya saya terpaksa berpikir untuk membeli sebuah rumah dan kendaraan yang layak. Saya begitu menyukai mobil kijang inova sehingga saya merogoh kocek kira-kira sebesar 250 juta rupiah. Kemudian sebuah developer real estate menawarkan saya sebuah rumah dengan ukuran dan fasilitas yang cukup memadai bila nantinya saya berkeluarga. Untuk itu akhirnya saya memilih sebuah rumah yang lumayan dekat dengan kawasan kota sebesar kasarnya 1 milyar rupiah. Dengan demikian tabungan saya masih bersisa 450 juta rupiah. Selanjutnya saya memutuskan menikah dalam rentang 15 tahun tersebut dan biaya pernikahan tersebut menelan biaya sebesar 100 juta rupiah. Tabungan sayapun menyusut menjadi 350 juta rupiah. Singkatnya pada usia ke-40 saya akan memiliki tabungan sebesar 350 juta rupiah dan masih punya 15 tahun lagi sebelum pension untuk mengumpulkan uang untuk keperluan keluarga dan biaya pendidikan anak-anak. Saya kira sudah cukup baik bila di usia 55 nanti, saya meninggalkan perusahaan dengan tabungan sebesar 2 milyar. Angka ini didapatkan dari tabungan saya yang terus meningkat dan kompensasi dari perusahaan saat saya pension nanti.

So, inikah yang anda harapkan? Well saya cuma berusaha mengungkapkan secara rasional akan menjadi apa anda nantinya bila hidup anda kurang lebih mendekati situasi dan asumsi-asumsi yang saya gunakan. Hitungan yang saya pergunakan mungkin terlalu bagus, kondisinya sangat mungkin kurang dari itu, dan kecil kemungkinannya anda bisa lebih dari angka yang saya sebutkan. Mengapa? Karena untuk lebih dari itu berarti anda harus berada dalam kelompok minoritas yang memiliki kinerja yang sangat baik di perusahaan multinasional. Dan tidak semua orang bisa seberuntung itu di bumi ini.

Sayapun terhenyak sekejab, pikiran saya menerawang jauh membayangkan realita yang akan saya hadapi. Sungguh sangat memukul perasaan ketika saya mendapati bahwa yang saya impi-impikan ternyata sangat jauh dari harapan. Bekerja pada perusahaan multinasional pun belum bisa menjawab angan-angan saya. Segera saya mengetik surat pengunduran diri”, yang kelak akan saya gunakan 2 tahun kemudian ketika saya mencari pengalaman di perusahaan besar. Sekali lagi saya harus berjuang menemukan ‘pintu lain’ yang menuju mimpi-mimpi indah saya.

Tuesday, August 26, 2008

Belajar dari kisah John Wood

John Wood is a social activist, who inspires people around the world with his sacrifice and effort to help other people, specifically children.

In the beginning, he worked for Microsoft Company as a director of marketing for Microsoft Australia, in 1998. In the same year, after his success in Australia, he held the position as the company’s director of business development for China. Here, in his position as a Microsoft executive, he had 70 people reporting to him and was 34 years old when he left Microsoft for good in late 1999.

The reason appeared was the result of a trip in 1998, during his vacation in the Himalayas, Nepal. He visited a local school and was surprised with the reality that it had only a few books which were locked up to protect them from children. Secondly, a simple request from the school headmaster ‘perhaps, sir, you will someday come back with books’ changed his purpose of life. The request had stayed in his mind and plagued him all the time. To answer it, he responded by sending 3000 books in the following year to the village. However, the former question still remained and new disturbing questions arose ‘if I’m doing so well, why aren’t I happier? If I have achieved so much, why don’t I feel a greater sense of satisfaction?’ and most importantly ‘did it really matter how many copies of Windows we sold in Taiwan this month when there were millions of children without access to books?’ As the result, during his second trip to the village, when he came back to deliver the books, he made the decision to leave the corporate world in order to help more children.

After his resignation, he started a non-profit charitable organization recognized as Room to Read (R2R). This was founded on the belief that World Change Starts with Educated Children and Education is the Key to Breaking the Cycle of Poverty. In the beginning, it was only himself when he started from his house to finalize the concept, and built up networks with all his friends around the world.

Since its inception in 2000, R2R has reached an estimated 990,000 children by building 197 schools, establishing 2,900 libraries, and publishing 77 new local language titles representing over 700,000 books. It also has donated over 1,2 million English language children’s books, established 92 computer and language labs and funded more than 2000 long term girls’ scholarships. Their efforts are currently focused in Cambodia, India, Laos, Nepal, Sri Lanka, Vietnam, South Africa, and Zambia.

Furthermore, the success of the organization’s achievements is identified by 3 main important keys. Firstly, Local Community Partnerships; which develops awareness and sense of ownership. Secondly, efficiency and transparency; a vital component playing a significant role to obtain essential trust from potential donors. And the final important key is, Networks; he communicates everyday through email for sharing information about their programs and progress.

John Wood is a man who has changed the world by helping children. His belief has motivated and pushed more people to take part in his effort. The resignation from Microsoft perhaps, removed him from luxury, and not understood by some people. However this man has a big heart. I strongly believe if we had more people like him in this miserable world, then the world be a better place for children.

Sunday, August 24, 2008

“Kota Jayapura Macet, Susah Parkir…Salah Siapa?”


Transportasi dan permasalahan yang terkait dengannya seperti kemacetan, dampak lingkungan (polusi udara dan kebisingan) keselamatan pengguna (pejalan kaki dan pengguna kendaraan bermotor), merupakan subyek sehari-hari dari kehidupan kota yang serba sibuk. Untuk alasan ini pulalah transportasi membutuhkan perencanaan yang memadai untuk mengurangi efek negatifnya (side-negative effect) sebisa mungkin.

Permasalahan tersebut juga berlaku di Jayapura, peningkatan jumlah kendaraan yang lalu-lalang di kota Jayapura tampaknya telah melebihi kapasitas prasarana yang tersedia, tampak dengan jelas ruas-ruas jalan tertentu yang macet pada jam-jam sibuk. Sulitnya mencari parkiran yang layak semakin memperkeruh keadaan akibat banyaknya kendaraan yang ‘terpaksa’ memarkirkan kendaraannya pada kanan-kiri bahu jalan.

Apa sih persoalannya?

Tampaknya isu permasalahan transportasi ini mulai menjadi perhatian segelintir pihak-pihak sehingga beragam opinipun muncul dalam menanggapi persoalan lalu lintas di kota Jayapura. Sebuah pemikiran yang ditawarkan melalui mekanisme IMB untuk pertokoan agar menyediakan parkir yang layak dan sesuai standar yang berlaku (baca Cepos Minggu Lalu) tentunya harus ditanggapi oleh instansi pemerintah terkait sebagai masukan dan gejala bahwa situasi lalu lintas kita mulai ‘bersinggungan’ dengan keterbatasan ruang yang tersedia. Menghadapi persoalan ini solusi yang instan tentu hanya menjawab persoalan dalam jangka pendek saja. Sementara persoalan lalu-lintas yang kita hadapi membutuhkan sebuah pendekatan yang konsisten, melibatkan banyak pihak, dan juga proses jangka panjang. Pemikiran ini sendiri berlandas pada kenyataan bahwa penduduk dan pengguna kendaraan bermotor yang terus meningkat sekian tahunnya. Sementara ruang dan biaya untuk pengembangan prasarana juga terbatas. Dengan demikian katakanlah bila pertokoan tersebut atau pemerintah sendiri telah menyediakan lahan untuk parkir yang mampu menjawab persoalan tahun ini, tetap saja nantinya kemacetan tidak akan terhindarkan akibat semakin meningkatnya para pengguna kendaraan dan juga mengingat pada karakter Kota Jayapura yang saat ini dicirikan oleh keterbatasan ruang dan padatnya pemukiman, perkantoran, dan kegiatan di bidang jasa (hotel, restoran, dll). Maka bagaimana cara kita menanganinya persoalan lama yang muncul terus menerus ini? akankan kita terus memperlebar jalan? Menyediakan lahan parkir baru lagi?

Pilihan Dalam Penyelesaian Persoalan

Sesungguhnya banyak konsep yang ditawarkan oleh para ahli transportasi untuk mencegah persoalan parkir dan macet ini, tergantung bagaimana kita ingin memperlakukan wajah kota kita.

Salah satunya adalah konsep Pedestrian Mall yaitu pedestrianisasi di pusat kota yang dilakukan dengan menutup jalan-jalan untuk kendaraan di pusat kota dari lalu lintas kendaraan bermotor, baik pada sebagian jalan maupun pada keseluruhan segmen jalan. Dengan cara ini diharapkan dapat menciptakan suatu kawasan/lingkungan pejalan kaki yang dapat digunakan untuk berjalan-jalan, untuk tempat berkumpul, untuk tempat beristirahat, dan terutama untuk tempat melakukan kegiatan berbelanja, dimana para pejalan kaki lebih diutamakan sementara jenis kendaraan yang lalu lalang dan parkir di kawasan tersebut dibatasi. Tujuannya agar daerah-daerah pusat pembelanjaan terbebas dari kemacetan lalu-lalang lalu-lintas dan menciptakan kenyamanan bagi pejalan kaki yang melaluinya atau berbelanja.

Kemudian konsep lainnya adalah penetapan tariff biaya parkir yang tinggi bila hendak parkir di pusat kota, juga akan menyebabkan pengguna kendaraan pribadi akan berpikir dua kali bila benar-benar tidak mempunyai kepentingan untuk mampir dikawasan tersebut. Selain itu adanya batasan waktu parkir dan pengawasan yang ketat untuk menjaga efisiensi, agar para pemilik kendaraan untuk parkir sesuai kebutuhannya. Alternatif parkir dengan biaya yang lebih murah di pinggiran kawasan kota dan kerelaan untuk ‘sedikit’ berjalan kaki menuju pusat kota harus dipertimbangkan pula, karena konsep ini pada dasarnya berusaha mendistribusikan para pengguna kendaraaan bermotor agar tidak semuanya berada di pusat kota.

Konsep lain yang tak kalah menariknya adalah mempromosikan public transport yang memadai misalnya Bis. ukuran yang besar dengan kapasitas jumlah penumpang yang banyak akan jauh lebih efisien. Faktor kenyamanan dan harga tiket bis juga merupakan pertimbangan penting yang harus dikedepankan untuk solusi ini. Pengguna akan rela beralih dari kendaraan pribadi bilamana menggunakan publik transport dirasakan lebih menguntungkan. Publik transport sendiri merupakan konsep lama yang telah dianut oleh kota-kota di Eropa untuk menjawab permasalahan transportasi mereka, dan dengan konsep ini pula Gubernur Sutiyoso dengan ‘Busway’nya sedang mencoba menjawab tantangan permasalahan yang sama di Kota Jakarta.

Dilema

Tentunya akan banyak pro-kontra yang mencuat dengan konsep-konsep tersebut. Kekuatiran para pelaku ekonomi dibidang jasa akan turunnya pelanggan mereka, iklim jayapura yang cenderung panas akan menimbulkan protes oleh mereka yang ‘terpaksa’ berjalan kaki, biaya parkir yang tinggi di pusat kota, tuntutan dari para supir taksi akibat beralihnya para penumpang, kesemuanya itu akan menjadi paradigma baru yang ‘sedikit’ mengguncangkan budaya hidup bila diterapkan di kota Jayapura ini. Walau demikian persoalan ini harus dipikirkan dan ditelaah lebih jauh lagi mengingat kompleksnya persoalan transportasi yang akan kita hadapi dimasa mendatang. Tergantung pemerintah...mau pilih yang mana.

Wednesday, August 20, 2008

Gundah

bila esok adalah akhirku..

saat aku tak mampu memaksa matahari untuk terbit..

saat aku tak bisa menahan datangnya malam..

saat bulan pun tak mau berkawan lagi..


bila esok adalah hancurku..

saat satu-satunya kekuatanpun pergi..

saat mimpi tak mau lagi hiasi tidurku..

saat kenyataan memilihkan jalan yang terpahit untukku..

maka aku ingin dikuburkan di awan-awan..


biarlah dari tempat yang tinggi..

senantiasa aku bisa memandang bulatnya bumi..

seandainya senyum abadi luput tergores saat aku menatap dunia..

dan bahagia memang bukan milik ku..

biarlah..setidaknya aku bisa menatapnya dari kejauhan..


setidaknya aku bisa belajar untuk memahaminya di sini..

dari sudut yg memang telah tercipta untuk ku..


..Tuhan maafkan aku yang tak pernah berdoa ini...

kalau boleh ada keajaiban, biarlah aku kembali ke satu titik bahagia yang pernah ada..dan jangan pernah biarkan waktu berjalan disana..

sehingga aku bisa lupa kepedihan ini..untuk selamanya..

My Job


I really enjoy my job as a lecturer at the University of Cenderawasih. I feel the job is challenging and interests me so much. I figure that the work is fascinating because of its various advantages. Further, there are three main benefits attracting me most to work in the university.

First of all, my working hours in the university are flexible. I can arrange my teaching schedule in accordance with my work load, because sometimes the schedule is changed for sudden internal or external department meetings. It also supports my mobility because often I have to work either in other faculties or other places. For example, I regularly teach in the Geography Department, and sometimes I also leave Jayapura for surveys or inspections.

Secondly, I have many chances to develop my expertise and professionalism through cooperation with other institutions. I am involved in governmental institution projects encompassing my positions as a technical team member of Regional Planning and Environmental Management Boards in Papua Province. Another thing is my professionalism develops by sharing my skills. In line with this, I have worked as a staff member both, as a planning and environmental consultant, and also as environmental inspector in private companies.

Lastly, I have opportunities to take part in the race for human development in Papua. I contribute to teaching and doing research relating to my expertise and related Papuan issues. For example, I did research related to infrastructure planning and also environmental issues in Papua Province. Besides that, I give suggestions and opinions when asked and participate in seminars relating to human development in Papua. Sometimes, I write my opinions in the local newspaper and became a seminar speaker to share my concepts and ideas.

In brief, these advantages are the main reason to hold my position as a lecturer in Cenderawasih University. However, although I realize that the profession is not what I dreamed of at the beginning, I believe that I have a huge responsibility to help other people, particularly Papuans. The sacrifice I made was the right choice. No matter what, I am still on the right track for a really success for future.

Friday, August 1, 2008

Perspektif Lingkungan Dalam Perencanaan Pembangunan Kita

Belakangan topik ‘bencana’ (disaster) banyak menjadi headlines di berbagai media cetak maupun elektronik. Bila diamati rentetannya menurut hasil penelitian Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), terhitung sejak tahun 1988 hingga pertengahan 2003 (belum memperhitungkan kerugian akibat bencana tsunami di aceh) jumlah bencana di Indonesia telah mencapai 647 bencana alam yang meliputi banjir, longsor, gempa bumi, dan angin topan, dengan jumlah korban jiwa sebanyak 2022 orang dan jumlah kerugian mencapai ratusan milyar. Angka tersebut belum termasuk bencana yang terjadi pertengahan tahun 2003 hingga pertengahan 2004 yang mencapai ratusan bencana dan mengakibatkan hampir 1000 korban jiwa. Beberapa temuan penting yang diperoleh menyimpulkan bahwa hampir sebagian besar korban jiwa diakibatkan oleh ‘banjir dan tanah longsor’. Perlu diketahui bahwa kedua jenis bencana ini adalah jenis bencana yang terjadi akibat adanya exploitasi terhadap lingkungan hidup. Ini adalah fakta bahwa bencana ‘buatan’ akibat campur tangan manusia (social disease) justru telah membahayakan kehidupan manusia itu sendiri. Intervensi yang luar biasa berlebihan dalam mengexploitasi lingkungan justru telah menjadi boomerang yang melukai diri sendiri (ecocide). Banjir kritik pedas terhadap pemerintah pun berdatangan, salah satunya dari Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Chalid Muhammad, beliau menyatakan bahwa sekitar 83 persen dari seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah rawan bencana, terutama banjir dan longsor. Sebagai catatan penting beliau menegaskan juga bahwa pemerintah tidak memiliki visi lingkungan dalam kebijakan dan desain tata ruang.

Perspektif Lingkungan dalam Perencanaan Pembangunan

Sebenarnya konsep lingkungan dalam sebuah perencanaan tata ruang telah ditegaskan dalam perencanaan formal (Rencana Tata Ruang) yang secara jelas membedakan wilayah budidaya dan kawasan lindung (UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang). Wilayah budidaya terdiri atas kawasan-kawasan yang nantinya bisa difungsikan sebagai kawasan komersil, perumahan, perkantoran, dll, sedangkan untuk kawasan lindung diperuntukan sebagai kawasan yang memiliki fungsi sebagai penyangga, daerah resapan air, kawasan dengan kelerengan yang tinggi, cagar alam, dll. Dengan demikian pespektif lingkungan telah masuk dalam kategori ini. Pengaturan penggunaan ruang ini kemudian juga telah diperkuat dengan regulasi-regulasi lainnya, salah satunya yang berkaitan adalah perangkat hukum yang berisikan ketentuan-ketentuan pokok lingkungan hidup (diawali dengan UU No.4 Tahun 1982 lalu disempurnakan lagi menjadi UU No. 23 Tahun 1997) dan instrumen pendukung seperti AMDAL (awalnya PP No. 29 Tahun 1986, dan diperbaharui lagi menjadi PP No. 27 Tahun 1999) , dan diikuti dengan berbagai macam standar dan prosedur lainnya yang harus dipatuhi demi memperkokoh kedudukan lingkungan hidup kita.

‘Mismatch’ Antara Prosedur & Praktek

Dengan demikian, apa yang salah dengan tata ruang kita terkait dengan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya bencana? “It depends on a man behind the gun”, dengan kata lain antara ‘teori dan praktek’ masih jauh dari kata selaras dan sehati. Yang direncanakan pada akhirnya akan berbeda di lapangan. Dalam setiap usulan rencana projek pembangunan biasanya selalu berpedoman pada rencana tata ruang yang telah ditetapkan oleh Pemdanya, kemudian singkatnya akan dilakukan studi kelayakan terlebih dahulu untuk melihat sejauh mana projek tersebut secara ekonomi akan memberikan keuntungan (profitable), juga meliputi studi AMDAL yang akan meninjau apakah perubahan lingkungan yang diakibatkan masih berada dalam batas-batas toleransi. Bila kedua persyaratan ini telah terpenuhi maka akan ditindaklanjuti dengan pemberian ijin untuk melakukan eksekusi pada projek tersebut dari Instansi pemerintah terkait. Walaupun demikian, dalam prakteknya banyak kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruangnya. Sebagai contoh banyak pemukiman, pertokoan, perkantoran yang ‘salah tempat’ alias didirikan di atas kawasan ruang hijau, resapan air, dll. Contoh lainnya lagi adalah begitu banyak hutan lindung yang ‘diupayakan’ untuk berganti fungsi menjadi hutan produksi agar semata-mata bisa memperoleh keuntungan yang lebih besar. Kerumitan permasalahan makin bertambah ketika instrumen pengendali seperti AMDAL sering dilecehkan dengan didahului oleh, misalnya Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dari departemen terkait. Situasi ini juga yang menempatkan peran manager kota (pemerintah) menjadi inkonsisten dalam menerapkan kebijakannya mengenai penataan ruang. Dari yang seharusnya berfungsi sebagai ‘pengontrol’, tapi malah menjadi ‘katalisator’ terhadap pengerusakan lingkungan yang nantinya berujung pada bencana-bencana seperti banjir dan tanah longsor.

Lingkaran Setan: Ekonomi Vs Lingkungan

Proses penurunan kualitas lingkungan sebagaimana dideskripsikan oleh Aca Sugandhy (1999), ‘bahwasanya pembangunan itu memerlukan sumberdaya alam yang diambil dari lingkungan alam, Kemudian dalam perkembangannya jumlah penduduk yang semakin banyak dan kebutuhan yang semakin naik serta teknologi yang berkembang mengakibatkan exploitasi dan pengurasan sumberdaya alam yang meningkat semakin besar, sementara lingkungan alam ini memiliki ambang batas daya dukung lingkungan yang tidak boleh dilewati demi keberlanjutan fungsi lingkungan hidup’. Walalupun demikian, sukses pengendalian lingkungan ini telah dipaparkan kembali secara spesifik lagi oleh Woods (1995) melalui studinya yang meliputi negara-negara di Eropa (Belanda & Inggris), Australia dan Amerika sebagai representasi negara-negara yang maju lingkungannya. Woods menyebutkan bahwa peran lingkungan melalui AMDAL sebagai variabel penting dalam perencanaan tidak bisa diganggu gugat. AMDAL telah dipandang sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi penuh dalam setiap usulan rencana proyek yang ditawarkan. Pemahaman bahwa antara penggunaan ruang untuk aktivitas kegiatan pembangunan dan dan efek-efeknya terhadap lingkungan, manusia, maupun mahluk hidup lainnya benar-benar dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Selain kesadaran lingkungan yang tinggi jawaban lainnya ada pada mekanisme kontrol yang kuat dari masyarakat sebagai mitra pemerintah terkait dengan kebijakan-kebijakan pembangunannya untuk memastikan bahwa lingkungan hidup adalah prioritas utama. Sebaliknya di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya (Asia & Afrika), lingkungan hidup cenderung menjadi pertimbangan nomor dua atau tidak sama sekali. Hal ini bisa dicermati dari pelaksanaan AMDALnya yang cenderung hanya bersifat sebagai pelengkap administratif semata. Dalih bahwa urusan perut harus diutamakan dengan memberhalakan pertumbuhan ekonomi tampaknya telah menjadi senjata pamungkas di kebanyakan negara-negara berkembang untuk menjadikan faktor lingkungan sebagai subordinatnya (anthropocentrism). Akibatnya pendekatan pembangunan yang bersifat project-oriented seringkali menjadi primadona dan dianggap sebagai solusi akhir untuk menjawab kebutuhan masyarakat tanpa melibatkan masyarakat itu sendiri.

Mencegah Lebih Baik Dari Pada Mengobati

Pembangunan fisik tidak selamanya merupakan sebuah ‘prestasi’. Penyimpangan fungsi yang telah diatur dalam tata ruang, dan ketidakpedulian terhadap dampaknya pada lingkungan pada akhirnya telah berujung pada terjadinya bencana buatan seperti banjir dan tanah longsor. Usaha penanganan harus diawali dengan kesadaran yang tinggi (strong commitment) untuk benar-benar mengaplikasikan perencanaan pembangunan berbasis lingkungan. Sewajarnya pemerintah mereview, menolak atau membatalkan usulan-usulan proyek yang sifatnya tidak memenuhi persyaratan lingkungan dan tidak sesuai dengan tata ruangnya. Apalah gunanya keuntungan jangka pendek (short-term benefit) yang tidak jelas itu, kalo nantinya melahirkan kerusakan yang berakibat kerugian yang sifatnya jangka panjang (long-term damage). Sudah saatnya pemerintah melakukan reposisi untuk kembali pada paradigma pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Concept), dimana kesinambungan lingkungan hidup juga ikut menjadi pertimbangan sentral dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan ruang.

My Musical Career History

During my study in Bandung in 2003, I decided to learn singing techniques. I didn’t join a musical school but I learned from a friend of mine who was a very good singer with lots of experience. He had many trophies from singing contests, and sometimes was asked to teach other singers privately. Interestingly, some of his students were famous and popular, and often performed on Indonesian TV Programs, even on MTV, a well-known musical program in the world. So, I learnt it for free. I was pushed to learn because he thought I had singing talent.

Consequently, we spent almost a year of singing practice to complete the techniques. My skill improved but he thought that it would be better if we continued to develop it more as a musical band. Thus, he invited 5 musicians and 2 more singers before making the band. At the beginning, we spent time on conversations about our musical experiences and band concepts, but the most important thing about our musical concepts. This took several meetings before ending with a decision that R&B Soul was the genre of our music. Further, we spent most of our time on band rehearsals. The singers spent four times a week or three hours a day on vocal and music practice. We also spent 4 hours a week in a music studio to combine both the vocals and the music. In addition, we also practiced to improve our skills outside rehearsal sessions.

Eight months later, we had our first audition at one of the hotels in Bandung city, but we failed. It was unsuccessful because we were nervous and lost our self-confidence. After evaluating that terrible performance, we went back on stage and won the audition at the Kintamani Kafe. It was a musical cafe that we ought to fight first as a beginner in Bandung musical world and also a place where the band career was started from. However, this second audition was my last also. I had to stop singing because I had to prepare my English skills seriously before taking my master degree in the Netherlands.

In brief, the band is very popular now in Bandung. They have performed in many popular musical cafes in West Java, Jakarta, Yogyakarta, Lampung, Bali and even abroad for charity events. I hope the band is successful with their first album which is being prepared now.