Belakangan topik ‘bencana’ (disaster) banyak menjadi headlines di berbagai media cetak maupun elektronik. Bila diamati rentetannya menurut hasil penelitian Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), terhitung sejak tahun 1988 hingga pertengahan 2003 (belum memperhitungkan kerugian akibat bencana tsunami di aceh) jumlah bencana di Indonesia telah mencapai 647 bencana alam yang meliputi banjir, longsor, gempa bumi, dan angin topan, dengan jumlah korban jiwa sebanyak 2022 orang dan jumlah kerugian mencapai ratusan milyar. Angka tersebut belum termasuk bencana yang terjadi pertengahan tahun 2003 hingga pertengahan 2004 yang mencapai ratusan bencana dan mengakibatkan hampir 1000 korban jiwa. Beberapa temuan penting yang diperoleh menyimpulkan bahwa hampir sebagian besar korban jiwa diakibatkan oleh ‘banjir dan tanah longsor’. Perlu diketahui bahwa kedua jenis bencana ini adalah jenis bencana yang terjadi akibat adanya exploitasi terhadap lingkungan hidup. Ini adalah fakta bahwa bencana ‘‘buatan’ akibat campur tangan manusia (social disease) justru telah membahayakan kehidupan manusia itu sendiri. Intervensi yang luar biasa berlebihan dalam mengexploitasi lingkungan justru telah menjadi boomerang yang melukai diri sendiri (ecocide). Banjir kritik pedas terhadap pemerintah pun berdatangan, salah satunya dari Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Chalid Muhammad, beliau menyatakan bahwa sekitar 83 persen dari seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah rawan bencana, terutama banjir dan longsor. Sebagai catatan penting beliau menegaskan juga bahwa pemerintah tidak memiliki visi lingkungan dalam kebijakan dan desain tata ruang.
Perspektif Lingkungan dalam Perencanaan Pembangunan
Sebenarnya konsep lingkungan dalam sebuah perencanaan tata ruang telah ditegaskan dalam perencanaan formal (Rencana Tata Ruang) yang secara jelas membedakan wilayah budidaya dan kawasan lindung (UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang). Wilayah budidaya terdiri atas kawasan-kawasan yang nantinya bisa difungsikan sebagai kawasan komersil, perumahan, perkantoran, dll, sedangkan untuk kawasan lindung diperuntukan sebagai kawasan yang memiliki fungsi sebagai penyangga, daerah resapan air, kawasan dengan kelerengan yang tinggi, cagar alam, dll. Dengan demikian pespektif lingkungan telah masuk dalam kategori ini. Pengaturan penggunaan ruang ini kemudian juga telah diperkuat dengan regulasi-regulasi lainnya, salah satunya yang berkaitan adalah perangkat hukum yang berisikan ketentuan-ketentuan pokok lingkungan hidup (diawali dengan UU No.4 Tahun 1982 lalu disempurnakan lagi menjadi UU No. 23 Tahun 1997) dan instrumen pendukung seperti AMDAL (awalnya PP No. 29 Tahun 1986, dan diperbaharui lagi menjadi PP No. 27 Tahun 1999) , dan diikuti dengan berbagai macam standar dan prosedur lainnya yang harus dipatuhi demi memperkokoh kedudukan lingkungan hidup kita.
‘Mismatch’ Antara Prosedur & Praktek
Dengan demikian, apa yang salah dengan tata ruang kita terkait dengan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya bencana? “It depends on a man behind the gun”, dengan kata lain antara ‘teori dan praktek’ masih jauh dari kata selaras dan sehati. Yang direncanakan pada akhirnya akan berbeda di lapangan. Dalam setiap usulan rencana projek pembangunan biasanya selalu berpedoman pada rencana tata ruang yang telah ditetapkan oleh Pemdanya, kemudian singkatnya akan dilakukan studi kelayakan terlebih dahulu untuk melihat sejauh mana projek tersebut secara ekonomi akan memberikan keuntungan (profitable), juga meliputi studi AMDAL yang akan meninjau apakah perubahan lingkungan yang diakibatkan masih berada dalam batas-batas toleransi. Bila kedua persyaratan ini telah terpenuhi maka akan ditindaklanjuti dengan pemberian ijin untuk melakukan eksekusi pada projek tersebut dari Instansi pemerintah terkait. Walaupun demikian, dalam prakteknya banyak kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruangnya. Sebagai contoh banyak pemukiman, pertokoan, perkantoran yang ‘salah tempat’ alias didirikan di atas kawasan ruang hijau, resapan air, dll. Contoh lainnya lagi adalah begitu banyak hutan lindung yang ‘diupayakan’ untuk berganti fungsi menjadi hutan produksi agar semata-mata bisa memperoleh keuntungan yang lebih besar. Kerumitan permasalahan makin bertambah ketika instrumen pengendali seperti AMDAL sering dilecehkan dengan didahului oleh, misalnya Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dari departemen terkait. Situasi ini juga yang menempatkan peran manager kota (pemerintah) menjadi inkonsisten dalam menerapkan kebijakannya mengenai penataan ruang. Dari yang seharusnya berfungsi sebagai ‘pengontrol’, tapi malah menjadi ‘katalisator’ terhadap pengerusakan lingkungan yang nantinya berujung pada bencana-bencana seperti banjir dan tanah longsor.
Lingkaran Setan: Ekonomi Vs Lingkungan
Proses penurunan kualitas lingkungan sebagaimana dideskripsikan oleh Aca Sugandhy (1999), ‘bahwasanya pembangunan itu memerlukan sumberdaya alam yang diambil dari lingkungan alam, Kemudian dalam perkembangannya jumlah penduduk yang semakin banyak dan kebutuhan yang semakin naik serta teknologi yang berkembang mengakibatkan exploitasi dan pengurasan sumberdaya alam yang meningkat semakin besar, sementara lingkungan alam ini memiliki ambang batas daya dukung lingkungan yang tidak boleh dilewati demi keberlanjutan fungsi lingkungan hidup’. Walalupun demikian, sukses pengendalian lingkungan ini telah dipaparkan kembali secara spesifik lagi oleh Woods (1995) melalui studinya yang meliputi negara-negara di Eropa (Belanda & Inggris), Australia dan Amerika sebagai representasi negara-negara yang maju lingkungannya. Woods menyebutkan bahwa peran lingkungan melalui AMDAL sebagai variabel penting dalam perencanaan tidak bisa diganggu gugat. AMDAL telah dipandang sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi penuh dalam setiap usulan rencana proyek yang ditawarkan. Pemahaman bahwa antara penggunaan ruang untuk aktivitas kegiatan pembangunan dan dan efek-efeknya terhadap lingkungan, manusia, maupun mahluk hidup lainnya benar-benar dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Selain kesadaran lingkungan yang tinggi jawaban lainnya ada pada mekanisme kontrol yang kuat dari masyarakat sebagai mitra pemerintah terkait dengan kebijakan-kebijakan pembangunannya untuk memastikan bahwa lingkungan hidup adalah prioritas utama. Sebaliknya di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya (Asia & Afrika), lingkungan hidup cenderung menjadi pertimbangan nomor dua atau tidak sama sekali. Hal ini bisa dicermati dari pelaksanaan AMDALnya yang cenderung hanya bersifat sebagai pelengkap administratif semata. Dalih bahwa urusan perut harus diutamakan dengan memberhalakan pertumbuhan ekonomi tampaknya telah menjadi senjata pamungkas di kebanyakan negara-negara berkembang untuk menjadikan faktor lingkungan sebagai subordinatnya (anthropocentrism). Akibatnya pendekatan pembangunan yang bersifat project-oriented seringkali menjadi primadona dan dianggap sebagai solusi akhir untuk menjawab kebutuhan masyarakat tanpa melibatkan masyarakat itu sendiri.
Mencegah Lebih Baik Dari Pada Mengobati
Pembangunan fisik tidak selamanya merupakan sebuah ‘prestasi’. Penyimpangan fungsi yang telah diatur dalam tata ruang, dan ketidakpedulian terhadap dampaknya pada lingkungan pada akhirnya telah berujung pada terjadinya bencana buatan seperti banjir dan tanah longsor. Usaha penanganan harus diawali dengan kesadaran yang tinggi (strong commitment) untuk benar-benar mengaplikasikan perencanaan pembangunan berbasis lingkungan. Sewajarnya pemerintah mereview, menolak atau membatalkan usulan-usulan proyek yang sifatnya tidak memenuhi persyaratan lingkungan dan tidak sesuai dengan tata ruangnya. Apalah gunanya keuntungan jangka pendek (short-term benefit) yang tidak jelas itu, kalo nantinya melahirkan kerusakan yang berakibat kerugian yang sifatnya jangka panjang (long-term damage). Sudah saatnya pemerintah melakukan reposisi untuk kembali pada paradigma pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Concept), dimana kesinambungan lingkungan hidup juga ikut menjadi pertimbangan sentral dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan ruang.